Jumat, 29 Februari 2008

Dekonstruksi Ruang Kelas

Suatu hari seorang murid kelas 5 sekolah dasar bertanya kepada gurunya. Ibu guru kenapa di dinding kelas selalu ada gambar tokoh-tokoh pahlawan nasional dan kemerdekaan? Di dalam ruang kelas yang lain pun saya menemukan pemandangan yang sama? Sang guru menjawab dengan bijak, maksud memasang tokoh-tokoh pahlawan itu tidak lain adalah untuk mengenang jasa-jasa mereka di jaman penjajahan. Si murid pun merasa puas atas jawaban yang diberikan oleh gurunya dan kembali ke tempat duduknya.


Ilustrasi di atas adalah sebuah pengalaman di sekolah-sekolah kita. Sejak kita duduk di bangku sekolah dulu atau bisa jadi sampai sekarang pemandangan ruang kelas demikian adanya. Ruang kelas tidak lepas dari hiasan jadwal mata pelajaran, jadwal piket dan papan absen. Interior ruang kelas terasa sangat menjemukan dan membosankan.


Lebih memprihatinkan lagi, dalam ruang kelas muridnya melebihi kapasitas yang layak untuk proses interaksi belajar. Konsentrasi murid pecah, udara pengab, suara guru nyaris tak terdengar. Pantas jika situasi ini sudah tidak lagi mendukung kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Peran guru dan murid tereliminasi oleh situasi ruang kelas yang tidak menyenangkan. Padahal belajar merupakan kegiatan yang menyenangkan (learning is fun).


Interaksi dalam Perbedaan

Dalam kajian psikologi belajar ruang kelas dimaknai sebagai tempat interaksi antara murid dengan murid dan murid dengan guru. Ruang kelas juga dimaknai sebagai sarana komunikasi antara guru dan murid sebagai subjek belajar untuk memecahkan persoalan secara bersama-sama. Ruang kelas bagi manusia pembelajar sebagai tempat mencurahkan perhatian mereka kepada sifat kepemimpinan dan dampak situasi ruang kelas terhadap hasil belajar.


Seorang anak ketika pertama kali mengenal lingkungan sosial setelah di rumah adalah di ruang kelas. Ia mulai mempelajari, sikap dan tingkah laku temannya (peer groups) serta kondisi sekitar yang berbeda dengan kondisi dirinya. Talcot Parsons berpendapat bahwa pola awal sosialisasi masa kanak-kanak akan mempunyai pengaruh bagi keberhasilan suatu gaya mengajar yang tradisional atau yang progresif di kemudian hari.


Perbedaan dalam ruang kelas adalah suatu hal yang tidak bisa ditolak apalagi lari dari perbedaan itu. Adalah tugas berat guru dalam menyampaikan bahan ajar di depan murid yang isi kepalanya berbeda-beda. Di sini guru mau tidak mau mencari celah dengan taktis (metodologis) seraya mengajarkan keragaman kepada peserta didik, bahwa hitam-putihnya warna dunia selalu ada di sekitar kita.


Ruang kelas tidak lagi milik guru seutuhnya, murid berhak memiliki untuk belajar dan berinteraksi. Otoritas guru tidak pernah akan ada jika tidak ada murid. Perilaku dominatif sudah saatnya disingkirkan dalam ruang kelas. Kegiatan belajar-mengajar yang integratif dan demokratik adalah jalan yang memungkinkan peserta didik menyenangi apa yang mereka lakukan sesuai dengan kebutuhannya (child centered). Cara belajar integratif dan demokratis merupakan cara yang paling efektif dalam proses belajar-mengajar.


Berkaitan dengan persoalan ruang kelas, guru tidak lain sebagai play maker-nya. Karena berbicara ruang kelas sudah barang tentu akan menyentuh wilayah guru dan perannya. Definisi situasi terhadap ruang kelas adalah salah satu pilihan untuk melakukan dekontruksi ruang kelas itu sendiri. Definisi situasi ini diperkenalkan pertama kali oleh Waller tahun 1930-an. Sampai sekarang tawaran teorinya masih digunakan untuk mereproduksi dan menafsirkan kembali ruang kelas.


Teori ini berangkat dari ungkapan (Philip, 1986) bahwa seseorang dapat mempengaruhi definisi situasi orang lain, dan kita sudah terbiasa untuk mengatakan bahwa seseorang mendefiniskan suatu situasi untuk orang lain. Sikap orang lain sesungguhnya merupakan pembatasan-pembatasan yang paling penting terhadap perilaku tiap orang.


Berpijak dari teori inilah guru menentukan situasi belajar dalam ruang kelas apakah membosankan atau menyenangkan. Tentu saja untuk melakukan dekonstruksi ruang kelas dalam perbedaan dan keragaman melibatkan peserta didik sebagai bentuk kontrak belajar. Dengan model dan metode apa belajar dapat berlangsung dengan menyenangkan.


Cara pandang radikal dikemukan Sharp dan Green (1975) mengenai hakikat sosialisasi dalam ruang kelas. Metode progresif yang menilai anak adalah pusat segala kegiatan (child centered) menjadi keabsahan dan bahan evaluasi dalam melihat atribut-atribut yang ada di ruang kelas. Sejauh mana kriteria sosial, emosional, estetik dan fisik mempengaruhi hasil belajar, dan apakah sudah menyentuh ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.


Relasi struktural dalam ruang kelas antara guru dan murid adalah bicara berdasarkan otoritas. Relasi ini tidak dapat mengejawantahkan problem solving karena murid berada pada posisi sebagai objek. Yang dibutuhkan sekarang adalah membuktikan ada tidaknya jaringan interaksi yang menghambat proses belajar-mengajar dalam ruang kelas yang sangat kompleks permasalahannya.


Seiring dengan perkembangan jaman makna sekolah direproduksi kembali sesuai dengan situasi yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bagian interior dan eksterior ruang kelas pun dirancang sedemikian rupa untuk mengusir situasi yang jenuh dan membosankan. Hal ini bisa dilihat pada Sekolah Madania di mana peserta didik memajangkan hasil kreativitas dan imajinasinya pada dinding-dinding kelas, begitu pula pada Sekolah Global Mandiri atau sekolah lainnya. Rupanya revolusi model belajar sedang berlangsung dengan memulainya dari ruang kelas.


Sebagai Sistem Sosial

Ruang kelas adalah cermin dari sistem sosial. Bedanya sistem sosial dalam ruang kelas berlangung dan dialami oleh guru dan murid. Pemilihan ketua kelas dan wakil ketua kelas tidak lain bagaimana peserta didik memiliki cara pandang tersendiri mengenai semangat kepemimpinan. Guru sebagai suri tauladan memberikan arti bahwa ada orangtua pengganti setelah di rumah sebagai tempat bertanya dan berkeluh kesah.


Menurut pendekatan interpretatif kegiatan dalam ruang kelas merupakan telaah-telaah yang dalam praktiknya akan ditemui oleh peserta didik di lingkungan masyarakat. Pada saat terjun ke dunia nyata mereka akan mengkategorikan realitas dan fakta sosial dalam sebuah pilihan, hak dan tanggungjawab. Dari ruang kelaslah dunia sosial dapat dijelaskan dan dimengerti oleh peserta didik.


Hubungan timbal-balik dalam ruang kelas menyiratkan bahwa ada satu sistem sosial yang sedang mulai berlangsung dan akan keluar dalam realitas sosial yang sesungguhnya. Di mana peserta didik dalam proses transmisi dan transfer pengetahuan merekamnya dalam otak sebagai pusat data yang akan dimunculkan kembali dalam waktu yang tidak dipastikan.

Revolusi belajar dengan pendekatan quantum teaching dan quantum learning merupakan salah satu dari upaya dekonstruksi yang berawal dari ruang kelas. Dua pendekatan ini kemudian diinterpretasikan kembali dalam berbagai macam siatuasi belajar. Ruang kelas adalah ideas tentang bagaimana cara menjalani kehidupan. Di sana sistem sosial akan berhadapan dengan kemelut dunia. Dari ruang kelas pula restorasi belajar memberikan jenis makna dalam hidup manusia.

Tidak ada komentar: